
Tebing Tinggi | bidikinfonews.xyz — 12 Oktober 2025.
Air Sei Bahilang lagi-lagi naik panggung. Seperti artis lawas yang tak pernah kehabisan jadwal manggung, ia kembali tampil — bukan di panggung hiburan, tapi di ruang tamu warga bantaran sungai.
Sekitar pukul 20.00 WIB, air datang dengan gaya khasnya: pelan-pelan tapi pasti, lalu langsung merebut kursi tamu, meja makan, dan kasur anak-anak.
Sekitar 300 kepala keluarga di Kelurahan Mandailing, Kecamatan Tebing Tinggi Kota, malam itu mendadak berubah profesi jadi penjaga malam.
Bukan menjaga keamanan, tapi menjaga kulkas supaya tidak hanyut.
Tanggul Runtuh, Janji Pun Ikut Tumbang
Kalau dibilang penyebabnya hujan, ya bisa jadi. Tapi yang lebih deras daripada hujan adalah alasan dari pemerintah.
Tanggul di Lingkungan 5, Gang Sei Penuh, sudah ambruk sejak 2021. Sampai sekarang belum diperbaiki. Katanya sudah “diajukan”, tapi entah ke mana. Mungkin ke langit.
Pintu pengendali air (pintu klep)? Tidak ada.
Yang ada cuma pintu rumah warga yang keburu diketuk air duluan.
Solusi Kilat: Karung Pasir, Lambang Inovasi Nasional
Pihak terkait katanya sudah turun tangan — membawa goni berisi pasir.
Bagi warga, itu bukan lagi bantuan, tapi tradisi tahunan.
Begitu air naik, datanglah “pasukan goni” lengkap dengan kamera dokumentasi.
“Sudah sering kami lapor, tapi jawabannya itu-itu saja: sabar, nanti diajukan,” ujar seorang warga sambil tersenyum getir.
Warga bahkan mulai menghafal gaya bicara pejabatnya: nada menenangkan tapi tanpa tanggal pasti.
Lucunya, karung pasir itu masih setia di tempatnya.
Kalau banjir dianggap budaya, maka goni-goni itu sudah pantas jadi ikon pariwisata baru Kota Tebing Tinggi.
Banjir, Sandiwara Tahunan Tanpa Naskah Baru
Banjir di Sei Bahilang ini seperti sinetron panjang tanpa akhir.
Musim 2021: tanggul jebol.
Musim 2022: janji diperbaiki.
Musim 2023: rapat koordinasi.
Musim 2024: tinjauan lapangan.
Musim 2025: ulangi dari episode satu.
Anak-anak susah sekolah karena jalan jadi kolam.
Pekerja harian kehilangan pendapatan karena air sudah sampai dapur.
Sementara pejabat kehilangan waktu… untuk mencari alasan baru.
“Air sumur kami bau lumpur, anak-anak gatal-gatal,” kata Ibu Fina, warga Gang Sei Penuh.
Tapi laporan warga ini seperti surat cinta tanpa balasan — dibaca mungkin, ditindak tidak.
Banjir: Antara Alam yang Serius dan Pemerintah yang Main-main
Jangan salah, alam sebenarnya sudah serius memberi peringatan.
Tapi di sisi lain, manusia justru sibuk berdiskusi tentang peringatan itu dalam forum “Rapat Koordinasi Penanganan Dampak Curah Hujan Ekstrem” — lengkap dengan konsumsi dan spanduk besar bertuliskan “Kita Siaga Banjir”.
Padahal warga tidak butuh spanduk, mereka butuh sekop dan batu.
Tapi ya begitulah — setiap kali air naik, yang paling cepat turun justru poster-poster dan kamera.
Warga Sudah Kebal Janji, Tapi Belum Kebal Air
Warga Sei Bahilang sudah terbiasa disapa banjir, tapi belum terbiasa disapa solusi.
Yang datang cepat biasanya cuma statement pers.
Yang datang terakhir: alat berat.
“Jangan-jangan tanggul ini baru diperbaiki kalau airnya sampai kantor wali kota,” celetuk seorang pemuda sambil tertawa setengah marah.
Tebing Tinggi tampaknya perlu proyek pembangunan kesadaran, bukan cuma pembangunan fisik.
Karena banjir bukan sekadar masalah air, tapi masalah cara berpikir.
Catatan Redaksi: Air Bisa Naik, Tapi Akal Sehat Jangan Turun
Air Sei Bahilang boleh naik setiap tahun, tapi semoga nurani pengambil kebijakan tidak ikut tenggelam.
Banjir ini bukan kutukan — ini hasil dari pembiaran yang dilestarikan.
Selama tanggul dibiarkan tumbang dan sungai dibiarkan dangkal, rakyat kecil akan terus mengapung di lautan janji.
Dan di atas sana, segelintir pejabat mungkin masih rapat membahas mengapa air bisa basah.
(S. Efendi Nst. C.BJ., C.EJ., C.In.)
Share Social Media