
Tebing Tinggi | bidikinfonews.xyz/ Sumatera Utara –
👆👆▶️ Klik AudioÂ
Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya.
Ungkapan bijak itu kembali menggema di tengah gegap gempita pemberitaan tentang operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat seorang pejabat tinggi di Sumatera Utara. Seperti roda nasib yang terus berputar, gelar dan jabatan bukanlah benteng kekal yang mampu menahan arus waktu dan kenyataan.
Adalah Topan Obaja Putra Ginting (TOP), Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara, yang kini namanya mencuat bukan karena prestasi luar biasa dalam pembangunan infrastruktur, tetapi karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca OTT yang mengejutkan publik. Ironi besar—seorang pejabat yang semestinya menjadi motor pembangunan justru tersandung kasus yang bisa meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi yang dipimpinnya.
Sungguh, terlalu banyak kisah serupa yang berulang di negeri ini. Jabatan yang seharusnya menjadi ladang pengabdian justru dijadikan alat untuk memperkaya diri. Mengapa kita begitu mudah terbuai oleh sanjungan, hingga lupa pada hakikat kekuasaan sebagai amanah? Di banyak tempat, pejabat dielu-elukan bak manusia agung, padahal hakikat manusia adalah fana. Maka, patut direnungi kembali pesan moral yang sederhana namun mendalam:
“Janganlah mau disanjung-sanjung, engkau digelar manusia agung. Sadar dirilah, tahu diuntung—sebelum jasad diusung.”
Kejadian ini seharusnya bukan hanya menjadi kabar heboh sesaat. Lebih dari itu, ia menjadi cermin bagi siapa saja yang kini sedang berada di puncak kekuasaan. Hari ini bisa saja mereka disanjung dan disapa hangat oleh banyak orang. Namun siapa yang bisa menjamin esok hari tidak akan menjadi berita utama yang memalukan?.
OTT terhadap TOP ini bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan sinyal keras bahwa pengawasan publik dan penegakan hukum tidak boleh surut. Tidak boleh ada kekebalan hanya karena posisi atau relasi kuasa. Justru semakin tinggi jabatan, semakin besar pula pertanggungjawaban moral dan hukum yang harus dipikul.
Di tengah semangat reformasi birokrasi yang digaungkan di berbagai daerah, peristiwa seperti ini seharusnya menjadi bahan bakar introspeksi, baik bagi aparatur sipil negara maupun masyarakat luas. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton pasif dalam pertunjukan korupsi yang terus berulang dari generasi ke generasi.
Hari ini, mungkin TOP telah jatuh dari “puncaknya“, tetapi esensi dari opini ini bukan tentang menjatuhkan, melainkan mengingatkan.Jabatan adalah titipan, bukan hak milik. Kuasa adalah amanah, bukan warisan.
Akhirnya, semoga peristiwa ini menjadi pembuka mata bagi kita semua. Bahwa kehormatan sejati tidak diukur dari banyaknya gelar atau pangkat, melainkan dari kejujuran, ketulusan, dan integritas yang dijaga hingga akhir hayat.
“Sebelum jasad akan diusung, bijaklah menjaga langkah, karena sejarah akan mencatat bukan hanya siapa kita, tetapi juga bagaimana kita menjalaninya.”
Oleh: Syahrial Efendi Nasution,
Pimpinan Umum Media Bidik Info News
Share Social Media