
Batam | bidikinfonews.xyz / – 7 April 2025. Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga (LAKRL) resmi mengajukan gugatan perdata terhadap Badan Pengusahaan (BP) Batam atas sengketa kepemilikan tanah di wilayah Pulau Batam, Rempang, dan Galang. Gugatan ini dilayangkan sebagai bentuk perlawanan atas penguasaan tanah yang dinilai tidak adil, yang menurut LAKRL telah berlangsung secara sistematis dan melibatkan berbagai oknum di tubuh pemerintahan.
Menurut juru bicara LAKRL, Said Ubaidillah, langkah hukum ini merupakan respon atas maraknya praktik-praktik perampasan tanah adat, yang tidak hanya merugikan masyarakat Melayu sebagai penduduk asli, namun juga mengancam eksistensi warisan sejarah dan budaya Kesultanan Riau Lingga. Salah satu kasus yang mencuat dan menjadi perhatian utama LAKRL adalah perobohan Hotel Purajaya yang dilakukan secara paksa, tanpa mengindahkan aspek kemanusiaan maupun kepemilikan sah tanah oleh masyarakat adat.
“Banyaknya kasus perampasan tanah, khususnya di wilayah Batam, Rempang, dan Galang, dilakukan oleh pihak-pihak yang bekerja sama dengan BP Batam dalam bentuk konsorsium mafia tanah. Ini bukan lagi sekadar konflik agraria, melainkan bentuk penjajahan terhadap hak-hak masyarakat adat. Hotel Purajaya menjadi bukti nyata bagaimana penguasa bertindak semena-mena, menggusur tanah milik warga secara brutal dengan dalih legalitas yang mereka buat sendiri,” ungkap Ubay—sapaan akrab Said Ubaidillah—dalam konferensi pers di Batam, Senin (7/4).
Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 38/Pdt.G/2025/PN Btm di Pengadilan Negeri Batam itu diajukan pada Februari 2025, dan kini telah memasuki tahapan persidangan. LAKRL mengklaim memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah-tanah yang disengketakan, berupa Grant Sultan yang diterbitkan pada tahun 1889 dan belum pernah dibatalkan secara hukum hingga saat ini. Dokumen tersebut, menurut LAKRL, memiliki kekuatan hukum setara dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan membuktikan bahwa wilayah-wilayah tersebut merupakan tanah ulayat Kesultanan Riau Lingga.
“Grant Sultan adalah dokumen otentik yang membuktikan bahwa tanah-tanah tersebut milik Kesultanan, dan hingga kini tidak pernah diserahkan atau dialihkan kepada pihak manapun, termasuk kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dokumen ini telah dilegalisir secara resmi oleh Kantor Pos Besar Jakarta pada 21 November 2023,” jelas Ubay.
Persidangan berikutnya dijadwalkan berlangsung pada 16 April 2025, dengan agenda pemeriksaan pokok perkara. Ubay berharap BP Batam dapat hadir dan membawa dokumen pembanding untuk diuji di pengadilan secara transparan.
“Kami akan membuktikan bahwa masyarakat adat Melayu Riau Lingga memiliki hak historis, hukum, dan budaya atas tanah-tanah ini. Sudah terlalu lama kami didiamkan, disingkirkan, bahkan dituduh sebagai pendatang di negeri sendiri. Saatnya kebenaran ditegakkan,” tegasnya.
Untuk memperkuat gugatan, LAKRL telah menunjuk lima pengacara yang dipimpin oleh Ahmad Joni, SH, sebagai koordinator tim kuasa hukum. Bersama sejumlah advokat lainnya, termasuk Willy Pratama Nida, SH, mereka telah menerima Surat Kuasa Khusus dari lembaga adat tersebut dan siap mengawal kasus ini hingga ke meja hijau.
Ubay juga menyoroti dua kasus besar di Batam sebagai representasi kezaliman penguasa tanah: kasus penggusuran masyarakat Rempang serta pengosongan dan perobohan Hotel Purajaya. Ia menilai tindakan itu mencerminkan keserakahan dan arogansi oknum pejabat yang bersembunyi di balik lembaga negara.
“Rury Afriansyah, pemilik Hotel Purajaya, adalah pengusaha tempatan dari suku Melayu. Ia bukan orang luar yang datang untuk menjajah, tapi justru ingin membangun kampung halamannya. Namun sayangnya, harta dan tanahnya dirampas secara sepihak. Ini perlakuan yang tak beradab,” katanya penuh keprihatinan.
Dalam investigasi yang dilakukan media ini, LAKRL diketahui memiliki dokumen sejarah berupa Kartu Bahasa Sketsa (Peta) yang diterbitkan oleh Van Den Riouw dan Kepulauan Riau Lingga, disusun oleh K.F. Holle selaku Penasehat Kehormatan Urusan Pribumi. Peta berskala 1:750.000 itu diterbitkan oleh Pejabat Administrasi Dalam Negeri dan Biro Topografi Batavia pada tahun 1889, dan kini menjadi salah satu bukti utama dalam gugatan.
Dengan dokumen sejarah dan legal yang dimiliki, LAKRL berkeyakinan kuat bahwa perjuangan hukum ini bukan sekadar upaya pengembalian tanah, tetapi bentuk perlawanan terhadap penghilangan identitas, warisan budaya, dan hak konstitusional masyarakat adat di Kepulauan Riau.
“Kami sadar bahwa perjuangan ini berat. Tapi jika hakim memiliki integritas dan melihat bukti secara objektif, kami yakin gugatan ini akan dikabulkan. Ini bukan kemenangan untuk kami saja, tapi untuk seluruh masyarakat adat Melayu di tanah kelahirannya,” tutup Ubay.
( BINews / D2K, Team )
Share Social Media