
Jakarta | bidikinfonews.xyz / Dunia peradilan Indonesia kembali tercoreng. Seorang hakim yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan justru kembali terseret dalam praktik rasuah. Modusnya pun tak jauh berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya : mengatur putusan perkara di pengadilan dengan imbalan uang.
Kali ini, sorotan publik tertuju pada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta alias MAN. Arif ditangkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), Sabtu (12/4/2025).
Arif diduga menerima uang suap senilai Rp 60 miliar terkait perkara ekspor CPO yang melibatkan tiga perusahaan besar, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Ketiga perusahaan tersebut sebelumnya mendapat putusan lepas dari tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolging) oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di PN Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
“Ini diduga berkaitan dengan pengurusan perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit selama periode Januari hingga April 2022 atas nama terdakwa korporasi,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, Sabtu malam.
Saat perkara itu disidangkan, Arif masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, yang membawahi Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selain Arif, Kejagung juga menetapkan tiga tersangka lainnya, yaitu Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara yang sebelumnya bertugas di PN Jakpus), serta dua pengacara perusahaan—Marcella Santoso dan Aryanto.
Uang suap untuk Arif diduga diberikan melalui Wahyu, yang merupakan orang kepercayaan Arif saat masih menjabat di PN Jakarta Pusat. Setelah dana suap diterima, Arif diduga menunjuk tiga hakim yang dianggap mampu mengamankan putusan lepas bagi korporasi terkait.
Korupsi Sistemik di Dunia Peradilan
Penangkapan Arif dan Wahyu semakin menambah daftar panjang hakim dan aparatur peradilan yang terlibat korupsi. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai kasus ini kembali menegaskan adanya budaya korupsi yang mengakar di lembaga peradilan.
“Ini menunjukkan bahwa mentalitas korup di tubuh peradilan, khususnya di bawah Mahkamah Agung, bukan hanya bersifat laten, tetapi sudah dilakukan secara terang-terangan dan meluas,” ujarnya, Minggu (13/4/2025).
Herdiansyah juga mengingatkan bahwa kasus ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada Oktober 2024, Kejagung mengungkap kasus suap dalam putusan bebas terdakwa Ronald Tannur yang menyeret mantan Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono serta mantan pejabat MA Zarof Ricar. Hingga kini, persidangan terhadap para hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur—yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo—masih berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kasus mafia peradilan tampaknya bukan isapan jempol. Penangkapan mantan Sekretaris MA Nurhadi (2021), mantan Sekjen MA Hasbi Hasan (2024), serta pemberhentian Hakim Agung Ahmad Yamani (2012) akibat kasus suap memperlihatkan betapa dalamnya pengaruh jaringan korup di lembaga peradilan.
Vonis Ringan dan Uang Pengganti
Sebagai catatan, Hasbi Hasan divonis enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp 3,8 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 13 tahun 8 bulan penjara.
Dengan ditangkapnya Ketua PN Jakarta Selatan, publik kembali mempertanyakan efektivitas reformasi peradilan dan komitmen pemberantasan korupsi di sektor hukum. Mafia peradilan tampaknya masih kuat mencengkeram institusi yang seharusnya menjadi tumpuan terakhir keadilan.
( BINews )
Share Social Media